Posts

Showing posts from March, 2017

MENCINTAIMU

Aku masih mengenalmu mengerti semua hidupmu dan masih menyimpan kedipan matamu di ujung lampu seperti biasa Aku masih mencintaimu menyayangimu sepenuh jiwa dan selalu merindu sepanjang usia seperti itu Aku masih membungkusmu membalut kepedihan seluas lautan dan menjadi bahtera tempatmu bersandar seperti doa Aku masih mengenangmu merenung di setiap baris-baris kebiasaanku dan menunggumu menjadi kupu-kupu hidupku seperti aku dan kamu Karangsuci, 2017

SURAT YANG KAU TITIPKAN PADA MALAIKAT

Aku masih terjaga sejak waktu tenggelam dan pagi menghampiri dedaunan hal yang paling sering kita bicarakan ialah tentang sepanjang petuah kita masing-masing Tadi, masalah pribadi embun yang seketika membasuh sekujur tubuhmu Sekarang, aku yang kebingungan mencari baju untukmu Nanti, hanya kita saling menyalahkan Sebenarnya aku sendiri tak pernah tahu sedang berkata apa dan dengan siapa di sini hanya ada ekor-ekor cicak dan sisa-sisa binatang malam yang bernyawa dengan masa tertentu Yang ingin kubicarakan adalah kamu yang bermalam di dekapan malaikat yang kukenal sejak kelahiran waktu itu malaikat yang pertama datang membawa surat untukku tentangmu yang juga memberikan sepotong bunga saat kau menangis Aku sempat bertanya padanya saat ia hendak memanjatkan tangannya ke atas tubuh dirinya saat itu aku percaya bahwa pertanyaanku adalah kekurangan yang harus diselesaikan meski ranting dalam dompetmu telah mengakar menjadi debu aku bertanya perihal kamu yang tertidur di...

KEMBALI MEMBAYI

Dalam puncak kebingungan yang membanjiri semua relung kehidupan aku hanya bisa mengadu pada hembusan nafasku sendiri Tak ada jalan pencarian Aku telah jauh dari kedamaian dari Tuhan, dan alam Tak ada lagi kata yang indah untuk menghiasi hari hanya ada kesediahn dan ratapan yang semestinya tak harus ada dalam hidupku Bukan tentang nasib yang menggelisahkan bahkan aku tidak tahu tentang itu. selain sisi-sisi kebenaran yang menyatu Entah tentang siapa lagi atau tentang kamu atau tentang diriku yang harus menjadi bunga dalam tidurku Karangsuci, 2017 17:30 WIB_

LANGIT-LANGIT SEPANJANG USIA

Setiap jalan kulewati Dengan takdir yang menggerakkannya Kubiarkan menyusupi lobang sempit Sungai-sungai keruh Langit-langit mendung Kubiarkan hatiku penuh dengan lumpur Comberan mengabad menghuninya Kerikil mengganjal urat dan nadi Dan puing-puing duri menyumbat tenggorokan Serta kubiarkan tubuhku kejang-kejang sepanjang usia Setiap waktu aku hanya memahami pergerakan lereng kehidupan Mengaduknya menjadi sajian Menghidangkan merupa makanan harian Sambil menikmati tiruan apa saja yang bisa ditiru Dan untuk itu aku melepaskan diri Dari bermacam kepingan itu Satu demi satu mengikat semua tubuh yang mungil Menjelma beban yang terus menumpuk Langit-langit sepanjang usia Membenturkan yang semestinya mesra Dan aku masih menghuni jalan berliku Untuk diramu menjadi kehidupan abadi Kedungbanteng, 2017

KAU AKU DAN ANGIN

Yang menjadi kenangan malam ini ialah kau aku dan angin di bawah diriku sendiri menyatukan ilusi yang panjang untuk dituliskan menjadi bait-bait rindu Seperti malam ini juga aku dan kau tak beranda menjadi gugusan kursi dan duduk bersama memandang dinginnya bukit-bukit di sini-di atas batu dan awan aku menjadi sendiri dari lampu-lampu sebelah jauh di kedipan mata Dengan terpaksa aku mencari rinduku bersama malam bersama angin-bersama embun-bersama puncak dan sedikit tumpukan api unggun yang menyiulkan kau dan aku Aku sendiri yang harus menjerit melepas keringat lama untuk menghilangkan hausku yang lama di lambung kenangan itu seperti malam ini juga aku mejadi diriku bersama rinduku sesudahnya aku dan kamu mencari legenda sendiri Biasanya aku menghitung bintang denganmu bersama gerimis yang diharapkan tapi tidak untuk malam ini aku harus mengumpulkan sendiri hasil renunganku dan menyerahkannya pada angin yang dingin Dan tiada lagi yang harus ditanyakan pada kita ...

KEMARIN MELIHATMU

Dari kedinginan setiap waktu Dipuncak awan-awan desa tua Kupijakkan kaki dengan kokoh Menggetar semesta ini Aku masih saja menyiulkan panorama keindahan alam Senja yang padang Tiada lagi menjadi indah ketimbang pepohonan dan atap-atap rumah Aku melihatya dengan indah Kampung, jika saja aku di atas rerumputan yang mengering Pastilah aku tahu rasanya kemarau di lahan-lahan rohanimu Tenanglah atas kedatanganku Kita akan mengesankan Yang Kuasa bersama Sejak kemarin kegundahan mencipta Sepi menyejukkan rongga-rongga yang kepanasan sepertiku Lemas seperti tua Tapi kita adalah cinta yang ada Tak perlu lagi pembahasan dan kata-kata panjang untukmu Karena kau segalanya Segalanya yang ada di hadapanku Sebuah desa beku yang awan menyelimuti tubuhmu Aku juga sedah rindu akan kedatangan hujan setiap sore Seperti dulu kita sebutkan jumlah air di pipimu yang merah Lalu kita saling merenung Dalam doa dan mimpi Di sini aku memulai perjalanan hidupku Dengan nafas sekedarny...

MENGUBUR ARTI

Di tempat ini aku mulai mengeringkan sisa tenaga Darah setetes yang tersisa terasa menjadi intan untuk di gunakan Kebingungan arah yang semakin membanjiri alam sadarku Menenggelamkan kebahagiaan yang semestinya ada Tak ada lagi sisa harapan Hanya sepi dalam keramaian Aku berjalan sendiri menyusuri tanah yang tak pernah aku kenal sebelumnya Mengelilingi rerumputan yang kering Gurun yang dahulunya menghijau merubah pandanganku untuk berpaling Menengadahkan tubuh ke arah yang berbeda Aku sendiri yang memilih menyerahkan apa yang aku miliki satu-satunya Semangat dan cinta Ijinkan aku memejamkan jalanku bersamamu Melupakan bekas pencarian yang kumiliki Menguburnya bersama luka Meninggalkannya bersama duka Memendamnya bersama semua tangis yang ada Setelahnya aku bebas memulai lahan yang mungkin baru mungki lama Tapi aku tak berani memulai Aku tak mengerti harus berjalan dari mana Semua telah hilang untuk dikembalikan Yang tersisa hanya penyesalan tiada akhirnya Kemba...

PERJALANAN YANG KUTITIPKAN DI RAHIM IBU

Setiap hari aku menjalani hidup kutinggalkan kebahagian demi jalan baru yang belum pasti tiada satu pun yang sempurna dari perjalanan yang akan ditemui adalah kepahitan Setiap pencarian hanya akan menemukan sisa telapak kaki sendiri meski terkadang menginjak jejak yang lain yang kutahu dari perjalanan; hanya jangan pernah berhenti hingga jalan menjadi buntu Jangan putus asa dari keletihan panasnya bumi yang diinjak setiap saat terkadang pula aku terpaksa menangis untuk membasahi tubuhku agar aku kuat melangkahkan kembali mencari rahasia Selama ini pula aku masih bertahan hidup yang tujuan itu tak pernah ada kebenaran dari titik ini pun aku merasakan kejenuhan kekeringan semangat melanda seluruh jiwaku Tapi aku tak pernah menghentikan kakiku untuk mengatakan menyerah yang kutahu saat ini hanya aku masih hidup untuk sesaat perjalanan semakin menjauh dan diriku tak mengerti berapa jauhnya tak ada yang bisa kutanya tentang ini Gersangnya ritual kebekuan jiwa telah ...

PELANTUN RUMAH TERAKHIR

Jika hari harus mengering seperti bundaran batu kecil di laut tandus melepas semua apa saja yang harus dilepas mengunci semua yang harus dikunci menyimpan semua yang harus disimpan tak akan ada yang berubah, hanya sedikit waktu yang berputar sebagai tanda tutupnya waktu setelah segalanya jelas ia hanya berdiam seperti bayangan malam itu pun aku yang hidup dalam sandaran bahumu yang rindang Setelah itu, kita menjadi benda langka yang menyimpan sejuta rahasia saling menatap tanpa kata menjadi pemandangan. Kita sama-sama membatu mengenang diri sendiri Aku mengikuti tangan yang mendesirkan nadinya sendiri lepas hati dan jiwaku terkunci dalam jasadmu hingga aku tak lagi kuasa atas apa yang disebut diri setelahnya kita menghilang jika datang gelombang yang memusnahkan museum yang menjadi rumah terakhir Jangan merasa eneh, sejak dulu akan terjadi seperti itu atau kau merasa sebenarnya belum terjadi keterlambatan untuk mengulang tragedi yang sebenarnya belum saatnya. Ucap...

MENGADAH NASIB ATAU MATAMU

Di hari nafasku berpagut dengan bumi sendiri, bulan yang utuh ialah seorang yang kuceritakan saat aku lelap mengukir mimpi membiarkan bintang melepaskan tubuhnya satu per satu dengan penuh hati-hati Saat itu kupanjatkan doa untuk Pangeran yang bahkan tiada hari berbungkus saji keringat dan air mata harapan adalah hari esok Ketepatan janji; mengadah nasib dari cinta meninggalkan agar bisa selalu mengingat, terbang ke tempat menjadi hiasan dan mengisi kekosongan agar aku tahu, mana yang kuat mengadah matahari atau matamu Malam semakin larut sementara adalah doa sepertiga hidup, menyapa bongkahan kesepian tak ada apa-apa kecuali aku dan kamu Banyuasin, 2016

PERIHAL CINTA

Duduk di malam yang tenang, dan hati yang menjegal setiap nafas yang di petik, selalu lupa kamu dan rembulan menyebut aku. Perihal cinta Darahku mendesirkan salju yang menyejukkan darahmu dan engkau menyebutnya ‘kita’ Darahku dan darahmu menyatu dalam tubuh yang berbeda namun berpacu dalam dingin yang sama. Perihal cinta Napasku menggetarkan gelombang yang menjalar ke laut-laut jiwamu dan engkau teriak olehnya Napasku dan napasmu mengalir dari sungai dada yang berbeda namun tergerus dalam badai yang sama Perihal cinta Tanganku mengulurkan kata yang menyatu ke semua jasadmu dan engkau mengertiku tanpa tanya Jasadku dan jasadmu membalut dua tubuh yang berbeda namun berbagi rasa yang sama Perihal cinta Matamu seketika membuka pintu wajahku dan aku menemukan rumah yang berseri Mataku dan matamu terbentang dalam kelopak yang berbeda namun menuju arah yang sama Perihal cinta Bila darahku, napasku, jasadku, dan mataku kehilangan makna dan fungsinya Bila e...

MATA SAYUP

Mata. Andai saja kau pinjamkankan kata-kata seram dan indah dari mulut semesta, aku akan mencerita kepada ketiadaan yang mulai membumi. Langit dan aku adalah sebuah perjalanan, atau aku yang tak mengerti Kamu. Perlahan aku berlari berani berbisik dalam keterpaksaan pada roh-roh kemustahilan. Bahkan embun dan senja tak lagi bermakna di setiap kehampaan. Purwokerto, 2016

MENGETUK PINTU MALAM

Sering malam menghempaskan jiwa membuka tabir ruh dan gelap kesendirian di alam Hilang sukar menghilang tak ada tempat untuk bersangkar bahkan meneguk secuil hidup Sering, menentukan detik dan jam menuju alam pelabuhan bukankah pintu terang menjelma bahwa hidupmu begitu sementara Sering, getaran kembali sendiri, mengecup manis selalu sepi betapa kau bulan purnama Untuk kutitipkan pada Cinta-Nya; Pekan Baru, 2016

HILANG

pun aku mencari jaring-jaring bertali untuk mendekapnya Aceh, 2016

RINDU

dan aku menggulung panjangnya awan Bandara Sultan Iskandar Muda, 2016

SAMUDERA

Saat kapal kulepaskan di samudera cinta kau menyambut penuh mesra dengan ayunan gelombang Sesaat, kutinggalkan bahteranya dan kapalku pecah berkeping-keping Pelabuhan Merak Bakauheni, 2016

CERMIN, MATAHARI DAN LAUT KEKASIH

Menyusuri derum perciknya gelap sebatas penyejuk, meski pulang dan pergi adalah sabda Hanya itu cermin kaca. Kata-kata kita; berjalan hendak melihat matahari terbit sejujurnya aku telah berhenti sebelum kaki menginjakkan langkah pertama Suaramu itu menyelinap dari tidurku membawa laut dan kekasih mengukir prasasti tanpa siulan marah dan gundah Aku bernafas lewat cermin dari jalan menghembus angin dengan sejuta kegelisahan tentang desaku dan tentang siapa aku: Bandara Halim Perdanakusuma, 2016

IJINKAN KITA SALING MENGENAL

Terlalu lama melawan detik terlalu cepat mengikuti menit kubiarkan saja 24 jam singgah Masa kini aku lewatkan dan alam membisu bersama Pencipta lalu hanya diam di antara kita Ijinkan aku mengenalmu ijinkan aku menyapamu ijinkan aku memelukmu hanya sekedar tau nama-nama Dan aku kenal siapa aku dan aku kenal siapa kamu dan aku kenal siapa Dia mungkin hanya itu harapannya Terlalu banyak permintaan terlalu agung permohonan dan aku hanya makhluk kecil tanpa tahu. Ijinkan kita bertemu dan bercinta Purwokerto, 2016

GUSTI

Seperti menyelami kesedihan lama, aku tak punya apa-apa untukmu, raga yang rapuh, jiwa yang kabur, dan lidah yang tak bersuara. Gusti. Maafkan aku. Purwokerto, 2016

PESAN TERAKHIR

            :untuk Permataku 1. Gadisku, kenapa kau pergi, setidaknya tunggulah sampai hujan mengeriput lepas itu, kecuplah keningku hingga aku lupa. Bukan beberapa tahun dari beberapa hari yang ingin saja kau tetap di barisan puisi-puisi. Lepas itu, kecuplah hidungku hingga aku mimpi. Gadisku, kenapa kau pergi, sejak kemarin, yang entah ke berapa kali kita jumpa di perempatan garis-garis buku. Lepas itu, kecuplah bibirku hingga aku lelap sepenuhnya. Saat itu boleh saja lanjutkan langkahmu ke halaman, di pelosok rumbia, di tonggak kebencian dan rindu. Lepas itu, kecuplah hatiku dan jalanlah. 2. Jangan tanya tentang apa saja yang telah kita perbuat atau mengadu pada siapa, demikian... tentang kita. Gadisku, apa engkau masih ingat kita pernah bercinta dari surat-surat yang di situ tidak ada apa-apanya hanya surat sepi dan bekas air mata. Manusia tidak akan menang dari kesepian Katamu. Kemudian? Kita hilang ditelan u...

CERAMAH UNTUK SANG PANGERAN OTANG

Otang, hidup ini terlalu remang menilai sesuatu. Sampai sekarang flora adalah kita, daging kita menjadi kertas kadang kala berantakan ke meja-meja kenangan. Kemarin aku pergi kemudian pulang ke rumah kosong tidak ada dia aku malu, menyesali nafas kering di kamar tua, sampai hari ini engkau tak menunjukkan kepadaku kenapa semesta terasa penyiksaan. Otang, apalagi yang harus kita lakukan, katanya kita manusia makhluk nyata dan pengendali. Tapi aku bukan itu. Samudra menjadi ilusi, daratan menjadi asap, dan kita bukan apa-apa. Otang, sampai hari ini, kita masih buta bahkan hanya untuk menyerap udara yang akan kita jadikan prasasti di ujung masa. Barangkali aku yang salah. Apabila mengingat sepotong kunci di hatimu yang suci. Otang, aku mulai menyelimuti hidup terlalu ngeri aku menatap ia. Sepertinya aku ketakutan dan takut dengan kenyataan. Darinya dan darimu Otang, sampai saat ini aku hilang tiada bayangan di kaca itu untuk aku melihat siapa diri. ...

PULAU ANGIN DI RUMAH TUA

Di rumah tua. Di atap, awan-awan mengumpul, seperti pulau kecil di layar-layar TV, sementara angin dan hujan-hujan kering saling mengisi. Di belakang, burung-burung dan bunga memeluk dengan mendung, di bawah daun yang lemah. Masih ada sisa kantuk yang mengapung dari jalan-jalan lama dan lampu-lampu tengah kota yang terang, tapi bukan lelah untuk sembunyi hanya saja kamar ini terlalu sempit, pengap, bagi kita berdua. Di lain hari, kita datang akan melongok rel-rel kereta dan ekor bintang-bintang, sesekali kita saling berpelukan, aku tak memeluk apa-apa, kita tenggelam dan sembunyi dalam papan pengumuman. Hai kalian orang-orang, pergilah ke meja dan kursi-kursi di ujung sana, dan tenggelamlah kalian di setiap hidangannya kalimat-kalimat besar menjadi semacam tulisan firman. Lalu kita pergi, berjalan sambil merunduk. Kita memang sudah berjanji untuk tidak mengingat kembali masa lalu, terlalu kelam terlalu dalam. Dari fajar 03:00-kau bangun, seperti ne...

DESA DAN SUARA-SUARA KECIL DI TENGAH SAWAH

Apa yang kudengar adalah fatamorgana hari di musim padi, sebuah sawah hijau meneteskan keringat dari wajah-wajah jalan yang berlumpur. Tak ada kebohongan kau membagi-bagi benihnya pada ratusan tanah-tanah di sebuah pulau untuk membuatku percaya. Yang kau lihat adalah apa yang kau rasa tapi aku hanya melihat di sepotong hari di angka yang lain. Dan angin begitu saja berjalan. Apa kita di sawah? Kita aneh, tak saling tatap menyapa tangan masing-masing melambai daun-daun untuk kau petik di tangkai ranting yang tak bisa kita gapai. Ini sulit untuk kupetik dan kita bagikan pada burung-burung di udara. Maka kita bingung bersama, pelan-pelan berjalan di mana semua arah menjadi panah. Tembok ke kanan, pagar ke kiri, dan kembali ke depan, masih sama tak ada benih lagi untuk segera menghidupkan harapan menjadi toga-toga senyum, dan meja-meja bahagia. Semua berubah menjadi orang-orangan sawah, dan kita bagian darinya. Janji, kita sama-sama akan merawatnya. Tapi kita h...

DAN LAGI

******** Di pelabuhan kuucapkan selamat pagi langit-langit dan udara hari ini terasa baik memulai hidup pada tanggal yang berbeda. Dan lagi tanpamu menjelma baris puisi. ******** Dan juga seperti sore ini, awan menjadi gelap bintik-bintik langit mulai menua angin-angin mulai menyusup dalam sepi. Aku tak lagi bisa berkata segelas teh di tempat biasa tak lagi mampu menjadi ruh berupa jiwa. Tentang alam yang mulai tak bersahabat aku menangis dalam tinta. Banyuasin, 2016

TANAH GERSANG DI DASAR JURANG

Perlahan tanah-tanah retak sedang aku tak kerap melihat wajahMu, tapi tak sepeti biasanya ingin rasakan sejuknya air ingin rasakan indahnya mentari ingin rasakan segarnya angin. Aku ingin hidup dalam api bernyawa dalam bara, tahun-tahun itu, hari-hari itu, waktu-waktu itu menjadi pengingat. Bahwa aku pernah singgah dan meninggalkan pesan Ini bukan salahKu, kataMu dalam tangisan menjelma topi-topi putih di jalan-jalan. Banyuasin, 2016

MELIHAT PINTU TERBUKA DAN RUANG RINDU YANG MENUNGGU

            “ Aku membuka diri dan tak merasakan siapa-siapa ”             -untuk Emak. 1. Aku telah merasakan segalanya: Air dan api detak nafas dan angin. Nelayan-nelayan yang bergegas menerjang ombak yang menggulung. Lalu menggumpal dalam ruang, membentang melintasi pintu waktu. Dari jendela itu, kita dan sosok asing saling bertanya, Tapi aku tak boleh mengerti. Ranting yang melebur hanya menusuk kita- untuk segera menutup jendela dan berpaling lurus. Lurus. Mari menanak renung. Masa telah menghampiri kita, nak! Belajarlah memejam. Di sana ada sebuah ruang, yang gelap, yang menghujam ke bawah tak bersinar di atapnya. Dari sana kita atau semua orang menghilang ke sana juga ada remang, jalannya terjal berbau dan amis di mana kita bisa memilih, ke Atas, ke Bawah. Lalu tak ada siapa-siapa lagi. Tinggal gelombang yang mengulang batin dengan sunyi yang- melanda semesta Emak, bolehkah aku bertanya...

MISTERI

Tanpa memelukku, aku tahu diam-diam Ia menciumku dan berkata aku di sini             sampai jumpa, tuan. Air Sugihan, 2016

WASIAT CINTA

Sejak pagi, aku tak percaya. kataNya aku mencintaimu- Sejak kepergianNya, aku tak juga lupa bercak domba yang datang-pergi ke sungai. Lalu menghilang. Aku tak tahu kalau Kamu mencintaiku seperti itu. Air Sugihan, 2016

MENGENANG TUHAN

Bahkan tiada lagi Kamu. Meski di diri setiap kali wajah dan tangan menyuara tapi aku tak mengenalMu. Tiba-tiba datang tiba-tiba tumbang, kadang Kau jalan begitu saja tanpa jejak di dadaku. Kamu!, kataku. Aku?, kataNya. Bukan! Berlalu dalam tangis di gumpalan awan-awan biru. Air Sugihan, 2016

TAHUN DAN MELODI

Tahun yang mulai aku dialogkan mengingat kenanganMu serta senyum tawa dari bibirMu yang rekah. Aku hampir lupa wajah itu lupa bagaimana mengungkapkan dan melukis cinta yang tiada Jika ilalang bertangkai mana kupanjatkan padaku untukMu Sayang: Dengarkan melodi ratapan kesendirian ibuku dengarkan getaran ratapan kesunyian ayahku dan kehancuran yang melanda hidupku. Air Sugihan, 2016

AKU GELOMBANG DAN CAHAYA

Dalam panjang angin menusuk ketegangan sekujur diri aku terdiam, dan Engkau? Menatap sunyi bersama jiwa. Hati yang lusuh. Kembali ke lingkaran kota tumpukan batu-bata seolah semesta namun aku tertunduk lesu. Sejak purnama kembali menutup diri yang lebih beraura dari sekedar duduk menikmati Kasih. Bukan itu yang Engkau tahu! Yang kutahu. Getaran masa yang lebam membuat kampung gemuruh mendendangkan jelma Tuhan Akulah Cinta Dari balik sisir Kau merenung dalam gelombang arus cahaya Bekasi, 2016

TUHANKU DI MALAM HARI

Malam ini. Banyak terlintas di telinga suara-suara yang asing ini bukan, Kamu! Bukan pula awan malam yang menggigil di perjalanan kita. Megah antar kota mengiyakan hikayat seorang putri, ia hidup di setiap jiwa ia hilang dari bintang. Kapan saja kau sebut rembulan malam ini ia hadir dengan secawang senyum, yang membekas: Hamparan laut luas sawah membentangkan sayapnya sementara aku dan Kamu, hanya pejalan tanpa arah jarum waktu. Yang hendak tahu adalah ladang pramugari surga mahkota tua pula kekasihku di sana. Ampun! Aku kehilangan bambu yang menusuk tajam ke langit bahkan kita lupa apa namanya. Mari kita sambung dari jendela lain kita masih di sini membuka dan mengakhiri; Kedokan Bunder, Indramayu, 2016

BERLALU BEGITU SAJA

Adalah yang tersulam waktu mengiringi perubahan dalam setiap lekuknya. Dalam kereta, kita bercerita kepada kisah yang hambar di dengar. Berlalu begitu saja seolah rindu bersapa kepadaku. Kapan engkau datang memanggil meriang aku meriang Dengan yang berselimut kematian, seharusnya aku lebih mengerti detak pasir, menggumpal kesakitan. Harus bagaimana Kau berkata: Jika telah tumbuh serupa tubuh yang mengakar aku atau stasiun ini yang menjerit adalah sama. Stasiun Prujakan, Cirebon, 2016.

TENDA

(di antara hutan dan bukit kini tersisa koridor-koridor yang lebih sering dilewati daripada dihuni)             Ditinggal pergi karena mati             jauh lebih rela dari             kepergian hidup nyata Mungkin di 55 derajat celcius kita akan sama-sama meleleh di meja-meja kembar milik kita. Apakah kau bahagia? Dan sepatu itu menjadi nota-nota kepergian- di bawah sajak aku berlari. Air Sugihan, 2016

DI TEMPAT BIASA

Di tempat biasa, kita bersua pada bait terakhir sebuah sabda dan satu sujud Persia: Seperti biasa, kita duduk lalu saling diam di tempat pilihan Malam yang larut oleh irama rembulan dan segudang alasan permohonan dan ratapan kunang-kunang menyulap hati yang terkelupas dari hujan yang semakin deras              Yang takdir adalah             menerima takdir Tangismu dalam sebuah alasan. Barangkali aku belum bosan membuka kepompongmu. Sujud ini memang melelahkan sesekali kembali tertahan menyeka tangis: Aku bahkan cemburu dengan rak-rak buku yang khusuk. Kita bahkan tak mampu saling berpelukan lewat gumam doa; Sujud yang panjang menidurkanku- hingga lupa tengah malam ada kamu yang tersesat ke jantung-jantung makam. Tapi aku masih ingat dari kertas coretan darimu, cuma ada titik-titik dari tinta berkarat.      ...