CERAMAH UNTUK SANG PANGERAN OTANG
Otang, hidup ini terlalu remang
menilai sesuatu. Sampai sekarang flora adalah
kita,
daging kita menjadi kertas
kadang kala berantakan
ke meja-meja kenangan.
Kemarin aku pergi kemudian pulang
ke rumah kosong
tidak ada dia
aku malu, menyesali nafas kering
di kamar tua,
sampai hari ini
engkau tak menunjukkan kepadaku
kenapa semesta terasa penyiksaan.
Otang, apalagi yang harus kita
lakukan, katanya kita manusia
makhluk nyata dan pengendali.
Tapi aku bukan itu.
Samudra menjadi ilusi,
daratan menjadi asap,
dan kita bukan apa-apa.
Otang, sampai hari ini, kita masih buta
bahkan hanya untuk menyerap udara
yang akan kita jadikan prasasti
di ujung masa.
Barangkali aku yang salah. Apabila
mengingat sepotong kunci di hatimu
yang suci.
Otang, aku mulai menyelimuti hidup
terlalu ngeri aku menatap ia.
Sepertinya aku ketakutan
dan takut dengan kenyataan.
Darinya dan darimu
Otang, sampai saat ini aku hilang
tiada bayangan di kaca itu
untuk aku melihat siapa diri.
Kita terlalu prihatin, terlalu nyeri,
terlalu serakah dari diri dan nyawa
padahal engkau tak kuasa
untuknya.
Otang, kembalilah ke kamar itu
meski gelap
tapi ada surga di harimu
tanpa lagi harus ingat siapa semesta.
Duduklah di sana,
senyumlah ke sana,
tidurlah dari sana.
Barangkali adalah cipta di antara pelangi.
Tapi, Otang.
Jangan risau, Otang. Dunia bukan lagi
nyawamu, biarkan ia liar semaunya.
Lagipula pakaianmu bukan bagian darinya.
Ingat satu warisan
di mana hati dan jiwa
menjadi teman abadi
lalu, dan karena mereka
adalah sepertimu. Berilah kasih dan senyum
selagi ada kemampuan untukmu.
Lalu, kau pergi
ke hari yang kau impikan,
melupakan kertas
di meja-meja
Kamu adalah Kamu
Lalu, sampai hari esok, itulah harapan
tentang kesepian dan ratapan.
Otang, mungkin aku tak mampu.
Yang Esa bukanlah Otang tapi
Esa itu.
Kembalikan semua itu pada Esa,
setelah itu ada terang,
setelah itu tenang,
setelah itu,
tetap. Ada.
Purwokerto, 2016
menilai sesuatu. Sampai sekarang flora adalah
kita,
daging kita menjadi kertas
kadang kala berantakan
ke meja-meja kenangan.
Kemarin aku pergi kemudian pulang
ke rumah kosong
tidak ada dia
aku malu, menyesali nafas kering
di kamar tua,
sampai hari ini
engkau tak menunjukkan kepadaku
kenapa semesta terasa penyiksaan.
Otang, apalagi yang harus kita
lakukan, katanya kita manusia
makhluk nyata dan pengendali.
Tapi aku bukan itu.
Samudra menjadi ilusi,
daratan menjadi asap,
dan kita bukan apa-apa.
Otang, sampai hari ini, kita masih buta
bahkan hanya untuk menyerap udara
yang akan kita jadikan prasasti
di ujung masa.
Barangkali aku yang salah. Apabila
mengingat sepotong kunci di hatimu
yang suci.
Otang, aku mulai menyelimuti hidup
terlalu ngeri aku menatap ia.
Sepertinya aku ketakutan
dan takut dengan kenyataan.
Darinya dan darimu
Otang, sampai saat ini aku hilang
tiada bayangan di kaca itu
untuk aku melihat siapa diri.
Kita terlalu prihatin, terlalu nyeri,
terlalu serakah dari diri dan nyawa
padahal engkau tak kuasa
untuknya.
Otang, kembalilah ke kamar itu
meski gelap
tapi ada surga di harimu
tanpa lagi harus ingat siapa semesta.
Duduklah di sana,
senyumlah ke sana,
tidurlah dari sana.
Barangkali adalah cipta di antara pelangi.
Tapi, Otang.
Jangan risau, Otang. Dunia bukan lagi
nyawamu, biarkan ia liar semaunya.
Lagipula pakaianmu bukan bagian darinya.
Ingat satu warisan
di mana hati dan jiwa
menjadi teman abadi
lalu, dan karena mereka
adalah sepertimu. Berilah kasih dan senyum
selagi ada kemampuan untukmu.
Lalu, kau pergi
ke hari yang kau impikan,
melupakan kertas
di meja-meja
Kamu adalah Kamu
Lalu, sampai hari esok, itulah harapan
tentang kesepian dan ratapan.
Otang, mungkin aku tak mampu.
Yang Esa bukanlah Otang tapi
Esa itu.
Kembalikan semua itu pada Esa,
setelah itu ada terang,
setelah itu tenang,
setelah itu,
tetap. Ada.
Purwokerto, 2016
Comments
Post a Comment