PESAN TERAKHIR
:untuk Permataku
1.
Gadisku, kenapa kau pergi,
setidaknya tunggulah sampai hujan mengeriput
lepas itu, kecuplah keningku
hingga aku lupa.
Bukan beberapa tahun dari beberapa hari yang ingin
saja kau tetap di barisan puisi-puisi.
Lepas itu, kecuplah hidungku
hingga aku mimpi.
Gadisku, kenapa kau pergi,
sejak kemarin, yang entah ke berapa kali kita jumpa
di perempatan garis-garis buku.
Lepas itu, kecuplah bibirku
hingga aku lelap sepenuhnya.
Saat itu boleh saja lanjutkan langkahmu
ke halaman, di pelosok rumbia, di tonggak
kebencian dan rindu.
Lepas itu, kecuplah hatiku
dan jalanlah.
2.
Jangan tanya tentang apa saja yang telah
kita perbuat atau mengadu pada siapa, demikian...
tentang kita.
Gadisku, apa engkau masih ingat
kita pernah bercinta dari surat-surat
yang di situ tidak ada apa-apanya
hanya surat sepi dan bekas air mata.
Manusia tidak akan menang dari
kesepian
Katamu.
Kemudian?
Kita hilang
ditelan usia yang tak pernah kembali-
meskipun ada kehendak.
Gadisku, aku semakin tak mengerti dengan kata-kata
penyair:
Bukan saja itu, tapi juga yang mengikuti apa
yang sebenarnya terjadi.
3.
Gasidku, semestinya kau menciumku sekali lagi,
lepas itu, aku mati
sekali saja.
Jangan bangunkan aku untuk yang terakhir kali-
kita sudah sepakat
bagaimana cara kita hidup dan pergi.
Aku mulai lupa cara memanggilmu
agar kau merasa bahagia, bukan. Bukan.
Kenapa kita ke sana.
Tidak. Tidak. Tetap-saja di sana.
Dari kitalah sejujurnya sifat takut, cemas,
sedih, rindu,
tanyakan tentang ini padaku. Hingga aku
diam dan hanyut
di samping hidup masa lalu.
Terlalu berat aku melangkah.
kalau saja ada kamu. Aku mungkin
lebih kuasa bersama yang di alam lain.
Kita berdoa
semoga kita dijemput pada peta
yang sama.
Di atas kuda dan berlari. Dan kembali.
Gadisku, aku sering bertanya
padahal aku tahu kau tak mampu menjawabnya.
Cukup: aku lelah dan lapar
aku ngantuk,
sembunyi di api.
Purwokerto, 2016
1.
Gadisku, kenapa kau pergi,
setidaknya tunggulah sampai hujan mengeriput
lepas itu, kecuplah keningku
hingga aku lupa.
Bukan beberapa tahun dari beberapa hari yang ingin
saja kau tetap di barisan puisi-puisi.
Lepas itu, kecuplah hidungku
hingga aku mimpi.
Gadisku, kenapa kau pergi,
sejak kemarin, yang entah ke berapa kali kita jumpa
di perempatan garis-garis buku.
Lepas itu, kecuplah bibirku
hingga aku lelap sepenuhnya.
Saat itu boleh saja lanjutkan langkahmu
ke halaman, di pelosok rumbia, di tonggak
kebencian dan rindu.
Lepas itu, kecuplah hatiku
dan jalanlah.
2.
Jangan tanya tentang apa saja yang telah
kita perbuat atau mengadu pada siapa, demikian...
tentang kita.
Gadisku, apa engkau masih ingat
kita pernah bercinta dari surat-surat
yang di situ tidak ada apa-apanya
hanya surat sepi dan bekas air mata.
Manusia tidak akan menang dari
kesepian
Katamu.
Kemudian?
Kita hilang
ditelan usia yang tak pernah kembali-
meskipun ada kehendak.
Gadisku, aku semakin tak mengerti dengan kata-kata
penyair:
Bukan saja itu, tapi juga yang mengikuti apa
yang sebenarnya terjadi.
3.
Gasidku, semestinya kau menciumku sekali lagi,
lepas itu, aku mati
sekali saja.
Jangan bangunkan aku untuk yang terakhir kali-
kita sudah sepakat
bagaimana cara kita hidup dan pergi.
Aku mulai lupa cara memanggilmu
agar kau merasa bahagia, bukan. Bukan.
Kenapa kita ke sana.
Tidak. Tidak. Tetap-saja di sana.
Dari kitalah sejujurnya sifat takut, cemas,
sedih, rindu,
tanyakan tentang ini padaku. Hingga aku
diam dan hanyut
di samping hidup masa lalu.
Terlalu berat aku melangkah.
kalau saja ada kamu. Aku mungkin
lebih kuasa bersama yang di alam lain.
Kita berdoa
semoga kita dijemput pada peta
yang sama.
Di atas kuda dan berlari. Dan kembali.
Gadisku, aku sering bertanya
padahal aku tahu kau tak mampu menjawabnya.
Cukup: aku lelah dan lapar
aku ngantuk,
sembunyi di api.
Purwokerto, 2016
Comments
Post a Comment