PULAU ANGIN DI RUMAH TUA

Di rumah tua.
Di atap, awan-awan
mengumpul, seperti pulau kecil
di layar-layar TV, sementara angin
dan hujan-hujan kering
saling mengisi.
Di belakang, burung-burung dan bunga
memeluk dengan mendung,
di bawah daun yang lemah.

Masih ada sisa kantuk yang mengapung
dari jalan-jalan lama
dan lampu-lampu tengah kota
yang terang,
tapi bukan lelah untuk sembunyi
hanya saja kamar ini terlalu sempit, pengap,
bagi kita berdua.

Di lain hari, kita datang akan melongok
rel-rel kereta dan ekor bintang-bintang,
sesekali kita saling berpelukan,

aku tak memeluk apa-apa,
kita tenggelam dan sembunyi dalam
papan pengumuman.

Hai kalian orang-orang, pergilah ke meja dan kursi-kursi
di ujung sana, dan tenggelamlah kalian di setiap hidangannya
kalimat-kalimat besar menjadi semacam
tulisan firman.
Lalu kita pergi,
berjalan sambil merunduk.

Kita memang sudah berjanji untuk tidak
mengingat kembali masa lalu, terlalu kelam
terlalu dalam.

Dari fajar 03:00-kau bangun,
seperti nenek moyang yang biasa pergi dengan
embun pagi di ranjang punggungnya.
terkadang kita tersandung oleh ingatan
yang menggigit pelan-pelan.
Embun dan kamu.

Di selokan dekat rumahmu, aku numpang tanya
perihal petunjuk:
Terlalu pagi kau pergi, kapan akan pulang?

Di jam yang tak lagi berangka,
aku mulai lelah bertanya
..... belum juga datang.

Aku yakin, kita tak pernah merekam
kapan kita telah
melihatnya.

Banyuasin, 2016

Comments

Popular posts from this blog

Hal Paling Mengerikan di Tahun 2017

Sabda Ombak

Ario Abdillah Palembang (Ario Damar)