MELIHAT PINTU TERBUKA DAN RUANG RINDU YANG MENUNGGU
“Aku membuka diri dan tak merasakan siapa-siapa”
-untuk Emak.
1.
Aku telah merasakan segalanya:
Air dan api
detak nafas dan angin.
Nelayan-nelayan yang bergegas menerjang ombak
yang menggulung.
Lalu menggumpal dalam ruang, membentang
melintasi pintu waktu.
Dari jendela itu, kita dan sosok asing saling bertanya,
Tapi aku tak boleh mengerti.
Ranting yang melebur hanya menusuk kita-
untuk segera menutup jendela dan berpaling
lurus. Lurus.
Mari menanak renung.
Masa telah menghampiri kita, nak!
Belajarlah memejam. Di sana ada sebuah
ruang, yang gelap, yang menghujam ke bawah
tak bersinar di atapnya.
Dari sana kita atau semua orang menghilang
ke sana juga ada remang, jalannya terjal
berbau dan amis di mana kita bisa memilih,
ke Atas, ke Bawah.
Lalu tak ada siapa-siapa lagi. Tinggal gelombang
yang mengulang batin dengan sunyi yang-
melanda semesta
Emak, bolehkah aku bertanya?
Apakah engkau tahu arah jalan ke ruang sana?
Diamlah. Kau belum boleh mengerti.
2.
Di layar ini engkau hanya perlu menundukkan
wajah, lalu menghirup birirnya.
Masih ingatkah? Ia hanya tersenyum dengan
wajah memerah dan memalingkan
dagunya yang manis.
Tidak, nak. Itu hanya halusinasi.
Di layar ini engkau hanya perlu menjadi penonton
dari sekian drama yang menepi sebungkus cinta. Siap diperankan.
Masih ingatkah? Hening. Tak bergambar
hanya layar yang gelap dan bintik-bintik putih
dan suara-suara yang tak jelas, satu dua kata
terpatah-patah di telinga. “Aman. Katanya.”
Hujan turun di langit yang terang, usainya angin
mengetuk pintu bumi.
Selalu ada tragedi di tangisnya.
Sampai mana kita?
Kita, di sini. Di dekat rintikan embun. Sangat misik,
bulat sangat mata.
Di alam waktu beroda mengikal
awan biru dan gambar lukisan itu. Tempat
berbagi, dan sejejer lilin-lilin kematian kata.
Nak,
ini supernova bunga mimpi.
Di sana kita terpental ke sebuah arloji
yang menakutkan.
Hari-hari membisu, angin-angin menjelma badai,
kita bingung, kita bimbang. Suasana baru
membuat asing menatap diri.
Mari kita duduk sejenak. Di sini. Aku lelah.
Jangan, nak.
Itu hanya adegan layar.
3.
Aku ingin berhikayat tentang batas ruang
yang menerobos di atas sadar di bawah sadar.
Tentang alam-alam dari waktu-waktu yang lari
ke dalam larutan kota, yang berkecamuk tua.
Dan dari desa-desa yang mulai tak mengenal kita.
Dari batas ruang ini, aku melintasi
garis katulistiwa hingga ke bukit laut.
Tentang kesadaran kenapa kita berhenti di titik
ketidakmengertian, ataukah memang hanya sepotong
mimpi ataukah rasa tahu yang salah.
Tapi aku pernah mengerti dan merasakan
kehadiran makhluk bawah sadar
menghentikan nafasku.
Benarkah, nak?
Lalu aku sekarang di mana? Apakah aku kehilangan
jejak?
Rasakan dan teruslah bergerak, nak-
ke jalan yang tak berkilometer itu.
Tapi hikayat itu akan hilang atau
hanya tertinggal satu langkah ke depan.
Nak, kita sama-sama melihat alam bawah sadar
mengeluarkan suara-suara yang indah sekali.
Meski kita tak boleh mengerti apa yang telah
mengenangkan hidupmu.
Teruslah bergerak, teruslah bergerak-
kilometer tak bertuan ini akan kita tinggalkan.
Dan mungkin kita tak harus ada di sini.
Tak harus ada.
Tidak ada!
4.
Mari sejenak menghitung-hitung nafas
mengingat jalan panjang yang bertumpukan.
Di sana perihal kau bertanya, tentang kehendak
Tapi kau tak ada
Di mana saat itu? Apa mungkin masih dalam
lingkaran waktu.
Coba ingat-ingat kembali. Barangkali aku hanyut
dalam lonceng api. Coba ingat-ingat kembali
mungkin tempat ini tak pantas untukku
dan mungkin telah habis waktu. Lepas pergi
rekatkan tangan-tangan kita dan tinggalkan
pintu-pintu itu.
Sejak itu aku patahkan lengan mimpi
lagu yang dulu kita dengarkan yang takut
melukai. Tapi aku melangkah di atas
debu dan abu dan bara.
Hingga suatu terik akan membatu,
menutup pintu, menutup jendela. Pernah suatu hari
berjanji dari imaji yang melengkung
oleh perih dan patung-patung di angin
yang merinding.
Ke mana aku akan pulang.
5.
Emak, bolehkan aku mengajukan pertanyaan?
Apakah di balik awan itu ada kamar panjang
dan apa di sana ada halaman yang memiliki
ruang. Emak, apakah waktunya sama atau bergerak mundur,
kata orag-orang, ada istana kayangan
tentang cerita malaikat bersayap.
Rahasia! Gerimis rintik air.
Aku merasa, pernah tinggal di sini
dengan kesepian dan cahaya yang kurang terang
dan jiwaku-merasa-ada dan tidak-merasa.
Tapi aku yakin. Benar. Atau hanya sebatas
kerumunan huruf,
sungguh, cuma ada ketikan daun
menyelimuti gerak-gerak itu
di buku kecil,
sangat kecil,
jauh dari apa yang aku rasakan.
Maka mundurlah. Tersenyumlah.
Tentang ingatan di satu malam dan
kenangan manis,
andai saja,
ruang waktu itu terbuka lagi
cuma ada kita. Tak ada siapa-siapa,
pergi menjelang malam dingin yang
pura-pura tahu.
Dan sosok asing itu
tak lagi terjaga
sementara kita akan saling memalingkan
muka, di kamar. Dengan terbujur di jendela
yang berbeda. Tapi kita menatap.
Untukku.
6.
Apa yang harus dirasakan di ruang itu.
Kota-kota yang hancur
di bawah orang-orang tak dikenal.
Berapa harga yang kau tebus untuk sesuatu
yang asing.
Aku merasakan sesuatu di ruang itu.
Rindu.
Sungai yang gelap, pulau yang asing,
usia yang hanyut. Langkah yang
tersisa dan tinggal bayangan. Lagu-lagu musim lalu.
Gugur di musim panas. Lorong-lorong kosong.
Pohon-pohon waktu. Gaun-gaun berjubah ruang.
Hampa.
Dari langkah dan gerak lusuh. Berlarilah!
Tempat itu seharusnya tak lagi kau singgahi
atau sebatas mengejarmu,
namun di batu yang meleleh
angin kerap kali mengikuti usiamu yang kian
lekat.
Dalam waktu adalah sunyi,
tak ada aku dan nyanyianmu,
tak ada rasa bertangkai,
hanya saja ada hari di balik pintu
yang kita sendiri tak pernah bisa menghitung
dengan tanggal.
Benar, aku belum boleh mengerti
yang ternyata kamu dan warna
pergi ke telaga sunyi.
7.
Hakikatnya:
Kita tak bisa tahu apa yang telah terjadi
meski di butiran rambut beruban.
Aku terjebak dalam ilusi
halusinasi membawa waktu begitu saja
kertas-kertas tak berwarna, tak berpena
serupa tubuh yang kosong.
Seolah rasa ada diskon di antara
waktu.
Emak, seharusnya kita menghindar.
Berlari cepat untuk masa yang tertukar dan
keindahan yang terbalik
dan seharusnya pula kita menyingkir
dari tanah ini. Daratan pena di sisi
pasir, menjadi cepat terhapus.
Semua hilang begitu cepat,
tapi kita belum mengerti apa-apa
dan kita harus belajar merasakan
kembali.
Lagi-lagi hanya itu.
Di sujud berlubang
dengan lorong berlukis
entah rembulan
dan pohon-pohon kemarau. Apa ia akan mengering juga?
Tentu, kenapa kau ragu?
Tertinggal dan ditinggal adalah sama.
Kita semua sama. Sama-sama bisa menari.
Sama-sama menatap hari. Sama-sama ke sana.
Ke tanah asing dan bercerita
untuk hanya sekedar mengecap gagal
mengingat jalan
yang itu.
Sudah terbangun?
8.
Aku sedang berbohong. Hanya Tuhan yang tahu
hanya pengadilan menantiku.
Jadi biarkan kata-kata ini larut.
Maka aku dan getaran cahaya
bersama partikel rindu atau kedurhakaan
yang terbuang.
Pendengaranku memudar, remang-remang
hampir menyentuh relung bayangan.
Jangan khawatir tentangku, doa-doa itu
serupa bibir mengecup
nyanyian ratu.
Sebentar lagi buah jatuh dari ranting itu
bukan hanya sepotong kendi yang terisi
melainkan kilau lampu di lorong berhantu.
Waktu hampir habis, nak
malaikat segera datang.
Sebelum beban memberat. Mari berlari sekuat
hati
jangan menangis ketika kau terbangun dari
mimpi
9.
Aku melihat rembulan,
bintang dan galaksi turun pelan-pelan. Seharusnya-
sunyi. Tapi. Tak ada apa-apa
beberapa terhenti. Setelah mendengar
doa,
seperti pasukan mengikuti gerak.
Siapa di sana, emak? Tanyaku.
Aku sudah terbangun dan tak merasakan
siapa-siapa.
Di bagian ini di sebuah kawah lapang.
Semua pergi tanpa saling kenal,
setelah itu hambur memucat
tak ada kicau tak ada tawa tak ada senyum
nyatanya seolah terhenti.
Apa itu arti?
Perjalanan kita menutup halaman putih?
Lalu apa yang kita cari akan hilang.
Mungkin di bagian ini aku akan
menemukan ‘bahagia’-mungkin tidak.
Masa lalu tetap menoleh
sesudah itu semua. Tidak lebih.
Selamat tinggal, kataku.
Dari kesedihan yang selalu pergi. Aku dan
orang-orang itu
saling melambaikan senyum.
Tapi langkahku tak bisa bergerak.
Selamat tinggal, katamu.
Lalu menutup buku,
lalu aku pergi. Sesudah aku bukan aku.
Lalu hanya cermin
yang aku pinjam darimu.
Sesudah terbangun, kau akan tahu
dan merasakan segalanya;
tentang hidup
tentang sakit
tentang takdir
tentang musim berganti yang
menghantui kita.
Sesudahnya,
kita mengerti.
Air Sugihan, 2016
-untuk Emak.
1.
Aku telah merasakan segalanya:
Air dan api
detak nafas dan angin.
Nelayan-nelayan yang bergegas menerjang ombak
yang menggulung.
Lalu menggumpal dalam ruang, membentang
melintasi pintu waktu.
Dari jendela itu, kita dan sosok asing saling bertanya,
Tapi aku tak boleh mengerti.
Ranting yang melebur hanya menusuk kita-
untuk segera menutup jendela dan berpaling
lurus. Lurus.
Mari menanak renung.
Masa telah menghampiri kita, nak!
Belajarlah memejam. Di sana ada sebuah
ruang, yang gelap, yang menghujam ke bawah
tak bersinar di atapnya.
Dari sana kita atau semua orang menghilang
ke sana juga ada remang, jalannya terjal
berbau dan amis di mana kita bisa memilih,
ke Atas, ke Bawah.
Lalu tak ada siapa-siapa lagi. Tinggal gelombang
yang mengulang batin dengan sunyi yang-
melanda semesta
Emak, bolehkah aku bertanya?
Apakah engkau tahu arah jalan ke ruang sana?
Diamlah. Kau belum boleh mengerti.
2.
Di layar ini engkau hanya perlu menundukkan
wajah, lalu menghirup birirnya.
Masih ingatkah? Ia hanya tersenyum dengan
wajah memerah dan memalingkan
dagunya yang manis.
Tidak, nak. Itu hanya halusinasi.
Di layar ini engkau hanya perlu menjadi penonton
dari sekian drama yang menepi sebungkus cinta. Siap diperankan.
Masih ingatkah? Hening. Tak bergambar
hanya layar yang gelap dan bintik-bintik putih
dan suara-suara yang tak jelas, satu dua kata
terpatah-patah di telinga. “Aman. Katanya.”
Hujan turun di langit yang terang, usainya angin
mengetuk pintu bumi.
Selalu ada tragedi di tangisnya.
Sampai mana kita?
Kita, di sini. Di dekat rintikan embun. Sangat misik,
bulat sangat mata.
Di alam waktu beroda mengikal
awan biru dan gambar lukisan itu. Tempat
berbagi, dan sejejer lilin-lilin kematian kata.
Nak,
ini supernova bunga mimpi.
Di sana kita terpental ke sebuah arloji
yang menakutkan.
Hari-hari membisu, angin-angin menjelma badai,
kita bingung, kita bimbang. Suasana baru
membuat asing menatap diri.
Mari kita duduk sejenak. Di sini. Aku lelah.
Jangan, nak.
Itu hanya adegan layar.
3.
Aku ingin berhikayat tentang batas ruang
yang menerobos di atas sadar di bawah sadar.
Tentang alam-alam dari waktu-waktu yang lari
ke dalam larutan kota, yang berkecamuk tua.
Dan dari desa-desa yang mulai tak mengenal kita.
Dari batas ruang ini, aku melintasi
garis katulistiwa hingga ke bukit laut.
Tentang kesadaran kenapa kita berhenti di titik
ketidakmengertian, ataukah memang hanya sepotong
mimpi ataukah rasa tahu yang salah.
Tapi aku pernah mengerti dan merasakan
kehadiran makhluk bawah sadar
menghentikan nafasku.
Benarkah, nak?
Lalu aku sekarang di mana? Apakah aku kehilangan
jejak?
Rasakan dan teruslah bergerak, nak-
ke jalan yang tak berkilometer itu.
Tapi hikayat itu akan hilang atau
hanya tertinggal satu langkah ke depan.
Nak, kita sama-sama melihat alam bawah sadar
mengeluarkan suara-suara yang indah sekali.
Meski kita tak boleh mengerti apa yang telah
mengenangkan hidupmu.
Teruslah bergerak, teruslah bergerak-
kilometer tak bertuan ini akan kita tinggalkan.
Dan mungkin kita tak harus ada di sini.
Tak harus ada.
Tidak ada!
4.
Mari sejenak menghitung-hitung nafas
mengingat jalan panjang yang bertumpukan.
Di sana perihal kau bertanya, tentang kehendak
Tapi kau tak ada
Di mana saat itu? Apa mungkin masih dalam
lingkaran waktu.
Coba ingat-ingat kembali. Barangkali aku hanyut
dalam lonceng api. Coba ingat-ingat kembali
mungkin tempat ini tak pantas untukku
dan mungkin telah habis waktu. Lepas pergi
rekatkan tangan-tangan kita dan tinggalkan
pintu-pintu itu.
Sejak itu aku patahkan lengan mimpi
lagu yang dulu kita dengarkan yang takut
melukai. Tapi aku melangkah di atas
debu dan abu dan bara.
Hingga suatu terik akan membatu,
menutup pintu, menutup jendela. Pernah suatu hari
berjanji dari imaji yang melengkung
oleh perih dan patung-patung di angin
yang merinding.
Ke mana aku akan pulang.
5.
Emak, bolehkan aku mengajukan pertanyaan?
Apakah di balik awan itu ada kamar panjang
dan apa di sana ada halaman yang memiliki
ruang. Emak, apakah waktunya sama atau bergerak mundur,
kata orag-orang, ada istana kayangan
tentang cerita malaikat bersayap.
Rahasia! Gerimis rintik air.
Aku merasa, pernah tinggal di sini
dengan kesepian dan cahaya yang kurang terang
dan jiwaku-merasa-ada dan tidak-merasa.
Tapi aku yakin. Benar. Atau hanya sebatas
kerumunan huruf,
sungguh, cuma ada ketikan daun
menyelimuti gerak-gerak itu
di buku kecil,
sangat kecil,
jauh dari apa yang aku rasakan.
Maka mundurlah. Tersenyumlah.
Tentang ingatan di satu malam dan
kenangan manis,
andai saja,
ruang waktu itu terbuka lagi
cuma ada kita. Tak ada siapa-siapa,
pergi menjelang malam dingin yang
pura-pura tahu.
Dan sosok asing itu
tak lagi terjaga
sementara kita akan saling memalingkan
muka, di kamar. Dengan terbujur di jendela
yang berbeda. Tapi kita menatap.
Untukku.
6.
Apa yang harus dirasakan di ruang itu.
Kota-kota yang hancur
di bawah orang-orang tak dikenal.
Berapa harga yang kau tebus untuk sesuatu
yang asing.
Aku merasakan sesuatu di ruang itu.
Rindu.
Sungai yang gelap, pulau yang asing,
usia yang hanyut. Langkah yang
tersisa dan tinggal bayangan. Lagu-lagu musim lalu.
Gugur di musim panas. Lorong-lorong kosong.
Pohon-pohon waktu. Gaun-gaun berjubah ruang.
Hampa.
Dari langkah dan gerak lusuh. Berlarilah!
Tempat itu seharusnya tak lagi kau singgahi
atau sebatas mengejarmu,
namun di batu yang meleleh
angin kerap kali mengikuti usiamu yang kian
lekat.
Dalam waktu adalah sunyi,
tak ada aku dan nyanyianmu,
tak ada rasa bertangkai,
hanya saja ada hari di balik pintu
yang kita sendiri tak pernah bisa menghitung
dengan tanggal.
Benar, aku belum boleh mengerti
yang ternyata kamu dan warna
pergi ke telaga sunyi.
7.
Hakikatnya:
Kita tak bisa tahu apa yang telah terjadi
meski di butiran rambut beruban.
Aku terjebak dalam ilusi
halusinasi membawa waktu begitu saja
kertas-kertas tak berwarna, tak berpena
serupa tubuh yang kosong.
Seolah rasa ada diskon di antara
waktu.
Emak, seharusnya kita menghindar.
Berlari cepat untuk masa yang tertukar dan
keindahan yang terbalik
dan seharusnya pula kita menyingkir
dari tanah ini. Daratan pena di sisi
pasir, menjadi cepat terhapus.
Semua hilang begitu cepat,
tapi kita belum mengerti apa-apa
dan kita harus belajar merasakan
kembali.
Lagi-lagi hanya itu.
Di sujud berlubang
dengan lorong berlukis
entah rembulan
dan pohon-pohon kemarau. Apa ia akan mengering juga?
Tentu, kenapa kau ragu?
Tertinggal dan ditinggal adalah sama.
Kita semua sama. Sama-sama bisa menari.
Sama-sama menatap hari. Sama-sama ke sana.
Ke tanah asing dan bercerita
untuk hanya sekedar mengecap gagal
mengingat jalan
yang itu.
Sudah terbangun?
8.
Aku sedang berbohong. Hanya Tuhan yang tahu
hanya pengadilan menantiku.
Jadi biarkan kata-kata ini larut.
Maka aku dan getaran cahaya
bersama partikel rindu atau kedurhakaan
yang terbuang.
Pendengaranku memudar, remang-remang
hampir menyentuh relung bayangan.
Jangan khawatir tentangku, doa-doa itu
serupa bibir mengecup
nyanyian ratu.
Sebentar lagi buah jatuh dari ranting itu
bukan hanya sepotong kendi yang terisi
melainkan kilau lampu di lorong berhantu.
Waktu hampir habis, nak
malaikat segera datang.
Sebelum beban memberat. Mari berlari sekuat
hati
jangan menangis ketika kau terbangun dari
mimpi
9.
Aku melihat rembulan,
bintang dan galaksi turun pelan-pelan. Seharusnya-
sunyi. Tapi. Tak ada apa-apa
beberapa terhenti. Setelah mendengar
doa,
seperti pasukan mengikuti gerak.
Siapa di sana, emak? Tanyaku.
Aku sudah terbangun dan tak merasakan
siapa-siapa.
Di bagian ini di sebuah kawah lapang.
Semua pergi tanpa saling kenal,
setelah itu hambur memucat
tak ada kicau tak ada tawa tak ada senyum
nyatanya seolah terhenti.
Apa itu arti?
Perjalanan kita menutup halaman putih?
Lalu apa yang kita cari akan hilang.
Mungkin di bagian ini aku akan
menemukan ‘bahagia’-mungkin tidak.
Masa lalu tetap menoleh
sesudah itu semua. Tidak lebih.
Selamat tinggal, kataku.
Dari kesedihan yang selalu pergi. Aku dan
orang-orang itu
saling melambaikan senyum.
Tapi langkahku tak bisa bergerak.
Selamat tinggal, katamu.
Lalu menutup buku,
lalu aku pergi. Sesudah aku bukan aku.
Lalu hanya cermin
yang aku pinjam darimu.
Sesudah terbangun, kau akan tahu
dan merasakan segalanya;
tentang hidup
tentang sakit
tentang takdir
tentang musim berganti yang
menghantui kita.
Sesudahnya,
kita mengerti.
Air Sugihan, 2016
Comments
Post a Comment