Peninggalan Islam Tertua di Nusantara - Makam Fatimah Binti Maimun
Bukti tertua arkeologi petilasan Islam di Nusantara adalah keberadaan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang terletak di Dusun Leran, Desa Pesucian, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik yang inskripsinya menunjuk kronogram 475 H/ 1082 M. Secara arkeologis, makam Fatimah yang terletak di Desa Leran, 12 KM di sebelah barat Kota Gresik dianggap sebagai satu-satunya peninggalan Islam tertua di Nusantara, yang tampaknya berhubungan kisah migrasi Suku Lor asal Persia yang datang ke Jawa pada abad ke-10 M.
Makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik
Untuk sampai ke kompleks makam Fatimah binti Maimun, dapat dilakukan dengan kendaraan umum dari Gresik atau dari Surabaya. Dari Surabaya, kendaraan pribadi dapat mecapai Leran melalui jalan tol jalur Demak-Tandes-Manyar. Dari pintu keluar tol Manyar, kendaraan meluncur ke barat sekitar 4-5 km belok ke kiri sudah masuk Leran dengan tanda papan petunjuk ke makam Fatimah binti Maimun terpasang di pinggir jalan raya. Jika menggunakan kendaraan umum, peziarah harus berangkat dari Gresik menggunakan bus atau angkutan umum jurusan Gresik-Sedayu-Paciran-Tuban.
Ditinjau dari aspek toponim, nama-nama dusun sekitar makam Fatimah binti Maimun menunjuk pada kekhususan wilayah pada masa silam. Toponim Wangen (tapal batas), Pesucian (tempat suci), Penganden (tempat kaum ningrat), Kuti (Vihara Buddha), dan Daha (kemerahan) menunjuk kawasan sekitar kompleks makam adalah wilayah khusus berstatus sima yang bebas pajak dan dikeramatkan oleh masyarakat.
Jirat Makam Fatimah binti Maimun
Dibalik bidang batu nisan Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 H/ 495 H itu, terdapat petikan ayat Al-Qur'an surat Ar-Rahman ayat 55. Petikan ayat Al-Qur'an tersebut ditulis dengan huruf kufi. Menurut Hasan Muarif Ambary dalam Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, petikan ayat Al-Qur'an tersebut memiliki korelasi kuat dengan aliran pembawa agama Islam awal di Indonesia. Dari kajian epigrafis terhadap makam Fatimah binti Maimun, dapat ditelusuri jenis huruf kufi yang ditulis dan bahan batu nisa, memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga (Panh-Rang) di wilayah Champa di Vietnam bagian selatan. Kedua batu nisan bertuliskan kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ ke-11 H.
Angka tahun 475 H atau 495 H jika dikonvensi dengan tahun Masehi bertepatan dengan tahun 1082 atau 1102 Masehi. Menurut Jere L. Bacharach dalam The Middle East Studies Handbook, tanggal 1 Muharram 475 H sama dengan 1 Juni 1082 M. 1 Muharram 495 H sama dengan 26 Oktober 1101 M. Jika bulan ketujuh atau Rajab maka bulan Rajab tahun 475 H tepat dengan tahun 1082 Masehi. Sedangkan bulan ketujuh pada tahun 495 H jatuh pada tahun 1101 M. Jadi, pembacaan inskripsi batu nisa makam Fatimah binti Maimun lebih sesuai dengan tahun 475 H.
Berdasar hasil galian arkeologi di Dusun Leran, Desa Pesucian, Manyar, Gresik, di sekitar kompleks makam Fatimah binti Maimun yang berupa mangkuk-mangkuk keramik berasal dari abad ke-10 dan ke-11 Masehi. Dapat diketahui bahwa di sekitar tempat tersebut pernah tinggal komunitas pedagang yang memiliki jaringan dengan Cina di utara dan India di selatan serta Timur Tengah. Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran di masa lampau merupakan pemukiman perkotaan dan perdagangan. Di antara pemimpin yang ada pada waktu itu adalah Fatimah binti Maimun. Kata asy-Syahidah ysng tertulis dalam inskripsi bisa dimaknai 'wanita korban syahid' seperti ditafsirkan H.M. Yamin, namun bisa juga dimaknai 'pemimpin wanita'.
Bukti galian arkeologis dan inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun, pada satu sisi dapat dihubungkan dengan para migran Suku Lor asal Persia yang pada abad ke-10 Masehi bermigrasi ke Jawa dengan mendirikan permukiman bernama Loram dan Leran. Itu berarti, Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jum'at, bulan Rajab, tahun 475 H/ 1082 M itu, bukanlah seorang wanita kelahiran setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Loram dan Leran sejak abad ke-10 Masehi. Tidak jauh di sebelah tenggara Leran terdapat Desa Roma, yang menurut tradisi lisan nama desa tersebut berasal dari bermukimnya lima orang Rum (Persia) di tempat tersebut pada masa silam.
Sepanjang rentang waktu berabad-abad di tengah komunitas Hindu-Buddhis, Dusun Leran pernah menjadi tanah perdikan (sima ri Leran) sebagaimana Prasasti Leran dari abad ke-13, yang terbuat dari tembaga, yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuno itu, bunyinya sebagai berikut.
"Pahinangi sang hyang sima ri Leran, purwa akalihan wates galengan sidaktan lawangikang wangun, mangalor atut galenganing mangaran si dukut, angalor atut galenganing tambak si bantawan, dumles angalor atut galenging tomba ri susuk ning huluning batwan....mwah rahyangta kutik nguni matengo irikan susuk ri batwan ngaranya."
Menurut prasati Leran, sima ri Leran adalah tanah perdikan bebas pajak, yang sebagian penduduknya pedagang, batasnya di sebelah timur berupa gerbang timur; di utara berbatasan dengan padang rumput yang disebut milik Si Dukut; di utaranya pula perbatasan dengan tambak Si Bantawan; lurus ke utara berbatasan dengan batu suci tanda sima di ujung batwan. Di tempat suci bernama batwan ini bersemayam arwah suci Rahyangta Kutik.
Berdasarkan bunyi Prasasti Leran, di arena sekitar makam Leran-di mana terdapat makam Fatiman binti Maimun-pada masa Singasari-Majapahit pernah dijadikan daerah perdikan (sima) bebas pajak. Tetapi tidak jelas, apa yang disebut susuk ri batwan (tempat suci di batwan) yang dijadikan persemayaman arwah Rahyangta Kutik. Sebab, Dusun Leran tidak ditemukan bekas reruntuhan candi. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan yang disebut susuk ri batwan itu adalah makam Fatimah binti Maimun yang identitas keislamannya pada abad ke-13 sudah kurang jelas. Penduduk Leran dan sekitarnya yang pada abad ke-13 banyak menganut agama Syiwa-Buddha, kemungkinan menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai susuk (tempat suci) di batwan dan almarhumah Fatimah binti Maimun dianggap sebagai arwah suci Rahyangta Kutik, di mana kata kuti dalam bahasa Sanskerta bisa bermakna 'biara Buddha' dan bisa pula bermakna 'gubug'. Di dalam naskah Buddhis berjudul Kunjarakarna, kutik dihubungkan dengan kata dharma kutika kamulan katyangan, yaitu makam suci persemayaman arwah yang mula-mula mendirikan pertapaan. Itu berarti, di tanah perdikan Leran pernah hidup sekumpulan orang-orang di sebuah pertapaan yang menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai tempat suci.
Di sekitar makam Fatimah binti Maimun berserak makam-makam lain yang tidak berangka, tetapi menurut kajian arkeologis makam-makam tersebut memiliki pola ragam hias dari abad ke-16. Jenis nisannya seperti yang ditemukan di Champa, berisi tulisan berupa doa-doa kepada Allah. S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to Malaysia menyatakan pendapat bahwa jenis tulisan kufi pada nisan di makam-makam sekitar makam Fatimah binti Maimun yang berisi doa, kemungkinan dibuat seorang penganut Syiah. Hal ini didasarkan argumen bahwa saat itu muslim yang datang ke Nusantara kebanyakan dari Persia yang kemudian bermukim di timur jauh. Salah satu muslim asal Persia yang datang ke Nusantara, lanjut Fatimi, adalah suku Lor dari Persia yang melakukan migrasi ke Nusantara pada abad ke-10 Masehi.
Keberadaan makam-makam di sekitar makam Fatimah binti Maimun yang menurut penelitian arkeologis berasal dari abad ke-16 itu, sangat mungkin berkaitan dengan dakwah Islam yang dilakukan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada perempat akhir abad ke-14 dan perempat awal abad ke-15. Menurut cerita masyarakat setempat, awal sekali ia datang ke Jawa adalah di Desa Sembalo di sebelah Dusun Leran. Ia dikisahkan mendirikan masjid untuk ibadah dan kegiatan dakwah di Desa Pesucian. Setelah membentuk komunitas muslim di Pesucian, Syaikh Maulana Malik Ibrahim dikisahkan pindah ke Desa Sawo di Kota Gresik.
Thomas S. Raffles dalam The History of Java, mencatat cerita penduduk setempat yang menyatakan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang pandita termasyhur berasal dari Arabia, keturunan Jenal Abidin (Zainal Abidin), dan sepupu Raja Chermen, telah menetap bersama Mahomedans (orang-orang Islam) lain di Desa Leran di Janggala. Kiranya makam-makam yang berasal dari abad ke-16 itu, berhubungan dengan komunitas Islam yang dibentuk Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Leran pada perempat akhir abad ke-14. Dan, tentunya mereka sangat memuliakan makam Fatimah binti Maimun yang dianggap sebagai makam muslimah, yang lebih tua, sehingga mereka yang hidup pada abad ke-16 itu merasa bangga dimakamkan di area makam tua yang dikeramatkan tersebut.
Sumber:..........................
Museum Nasional di Jakarta yang menyimpan banyak peninggalan penting Nusantara termasuk Prasasti Leran
"Pahinangi sang hyang sima ri Leran, purwa akalihan wates galengan sidaktan lawangikang wangun, mangalor atut galenganing mangaran si dukut, angalor atut galenganing tambak si bantawan, dumles angalor atut galenging tomba ri susuk ning huluning batwan....mwah rahyangta kutik nguni matengo irikan susuk ri batwan ngaranya."
Menurut prasati Leran, sima ri Leran adalah tanah perdikan bebas pajak, yang sebagian penduduknya pedagang, batasnya di sebelah timur berupa gerbang timur; di utara berbatasan dengan padang rumput yang disebut milik Si Dukut; di utaranya pula perbatasan dengan tambak Si Bantawan; lurus ke utara berbatasan dengan batu suci tanda sima di ujung batwan. Di tempat suci bernama batwan ini bersemayam arwah suci Rahyangta Kutik.
Berdasarkan bunyi Prasasti Leran, di arena sekitar makam Leran-di mana terdapat makam Fatiman binti Maimun-pada masa Singasari-Majapahit pernah dijadikan daerah perdikan (sima) bebas pajak. Tetapi tidak jelas, apa yang disebut susuk ri batwan (tempat suci di batwan) yang dijadikan persemayaman arwah Rahyangta Kutik. Sebab, Dusun Leran tidak ditemukan bekas reruntuhan candi. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan yang disebut susuk ri batwan itu adalah makam Fatimah binti Maimun yang identitas keislamannya pada abad ke-13 sudah kurang jelas. Penduduk Leran dan sekitarnya yang pada abad ke-13 banyak menganut agama Syiwa-Buddha, kemungkinan menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai susuk (tempat suci) di batwan dan almarhumah Fatimah binti Maimun dianggap sebagai arwah suci Rahyangta Kutik, di mana kata kuti dalam bahasa Sanskerta bisa bermakna 'biara Buddha' dan bisa pula bermakna 'gubug'. Di dalam naskah Buddhis berjudul Kunjarakarna, kutik dihubungkan dengan kata dharma kutika kamulan katyangan, yaitu makam suci persemayaman arwah yang mula-mula mendirikan pertapaan. Itu berarti, di tanah perdikan Leran pernah hidup sekumpulan orang-orang di sebuah pertapaan yang menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai tempat suci.
Naskah Nipah Kunjarakarna yang disimpan di Universitas Laiden sebagai naskah Orientalis 2266, halaman 1 verso
Keberadaan makam-makam di sekitar makam Fatimah binti Maimun yang menurut penelitian arkeologis berasal dari abad ke-16 itu, sangat mungkin berkaitan dengan dakwah Islam yang dilakukan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada perempat akhir abad ke-14 dan perempat awal abad ke-15. Menurut cerita masyarakat setempat, awal sekali ia datang ke Jawa adalah di Desa Sembalo di sebelah Dusun Leran. Ia dikisahkan mendirikan masjid untuk ibadah dan kegiatan dakwah di Desa Pesucian. Setelah membentuk komunitas muslim di Pesucian, Syaikh Maulana Malik Ibrahim dikisahkan pindah ke Desa Sawo di Kota Gresik.
Thomas S. Raffles dalam The History of Java, mencatat cerita penduduk setempat yang menyatakan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang pandita termasyhur berasal dari Arabia, keturunan Jenal Abidin (Zainal Abidin), dan sepupu Raja Chermen, telah menetap bersama Mahomedans (orang-orang Islam) lain di Desa Leran di Janggala. Kiranya makam-makam yang berasal dari abad ke-16 itu, berhubungan dengan komunitas Islam yang dibentuk Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Leran pada perempat akhir abad ke-14. Dan, tentunya mereka sangat memuliakan makam Fatimah binti Maimun yang dianggap sebagai makam muslimah, yang lebih tua, sehingga mereka yang hidup pada abad ke-16 itu merasa bangga dimakamkan di area makam tua yang dikeramatkan tersebut.
Sumber:..........................
Luar biasa....
ReplyDelete